Skip to main content

Memetik Hikmah dari Alergi Naik Pesawat


Tak banyak yang tahu kalau aku punya alergi, takut naik pesawat.

Nggak. Aku nggak takut ketinggian. Karena waktu masih tinggal di desa dulu, aku sering ngumpet di pohon belimbing kalau lagi main petak umpet sama anak tetangga. Di halaman belakang rumahku juga tumbuh pohon jambu yang sering kupanjat - panjat sambil gelantungan kayak Tarzan.

Entah sejak kapan. Tapi aku pernah bermimpi jatuh dari ketinggian dan melayang - layang di angkasa nggak jatuh - jatuh ke dasar sambil teriak "Aaaaaaa...".

Mimpiku itu terasa begitu nyata sampai akhirnya aku terbangun dalam keadaan ngos - ngosan, deg - degan dan keringetan. Pokoknya mimpi ini terasa buruk banget bagiku.

Dan, sejak itulah aku jadi takut naik pesawat. Lebih tepatnya, aku takut naik pesawat, lalu jatuh melayang - layang seperti mimpi buruk yang pernah kurasakan itu.

Untungnya keluargaku bukanlah keluarga petualang yang doyan jalan - jalan. Mudik lebaran ke tempat nenek di Kediri dan Malang juga selalu ditempuh dengan perjalanan darat yang memakan waktu 6 hingga 10 jam.

Saat mulai bekerja pun, aku mendapatkan jenis pekerjaan yang tak menuntutku untuk travelling. Melainkan hanya berkutat di office saja.

Sontak, sejak kecil sampai usia dewasa, aku tak pernah harus berhadapan dengan perjalanan  naik pesawat.

Ajakan naik pesawat mulai datang ketika hendak menikah. Mas pacar yang sekarang sudah menjadi mas bojo, saat itu menawarkan untuk honeymoon ke Bali atau Lombok. Aku sebenernya mau bangeet honeymoon ke Bali. Tapi ketakutanku akan naik pesawat ternyata lebih besar dari keinginan melihat senja di pantai Kuta.

Kalaupun mau honeymoon ke Bali, aku minta supaya kami pergi lewat jalur darat saja lalu menyebrang pulau naik kapal fery seperti liburan bersama teman - teman waktu masih SMP dulu. Lebih baik aku klenger di darat daripada harus naik pesawat. Serius.

Suamiku ngakak berat waktu tahu aku takut naik pesawat. "Owalah, muka jutek gaya sok cool ternyata takutnya sama naik pesawat, hahahahah.", katanya.

Dan akhirnya, kami menghabiskan libur honeymoon di kota Bandung, kota kenangan  tempat aku kuliah dulu. Menyusuri kampus, sudut - sudut kota, serta tempat kuliner yang biasa kudatangi saat masih single dulu. Jadi, judulnya honeymoon rasa napak tilas 😂.

"Harus berani naik pesawat dek, nanti kalau mau umroh atau haji gimana? Masak mau naik kapal?", kata suamiku menyemangati.

Memang benar. Tentunya aku nggak mungkin selamanya menghindari naik pesawat. Ketakutan naik pesawat ini memang harus diatasi karena aku masih punya cita - cita yang ingin dituntaskan, yaitu umroh dan naik haji. Nggak mungkin kan pergi ke Mekkah lewat jalur darat? Meskipun sebenarnya memungkinkan, tapi aku nggak  sekonyol itu.

Namun tetap saja, membayangkan naik pesawat tujuan Jakarta - Mekkah yang pastinya menempuh jangka waktu yang lama, sudah membuat perut mulas dan dengkul lemas.

Ujian naik pesawat akhirnya datang juga pada lebaran tahun 2014. Saat itu, kakak iparku mbak Wulan dan mas Moko, mengundang keluarga besar kami yang jumlahnya kurang lebih 13 orang untuk berlibur lebaran di rumahnya, Batam. Mereka juga sudah menyiapkan tour kecil keliling Singapura dan Malaysia untuk keluarga kami.

Kami nggak perlu menyiapkan apa - apa. Cuma perlu bawa diri saja karena semua biaya perjalanan, tiket pesawat, penginapan, makan dan lain sebagainya ditanggung mbak Wulan dan mas Moko.

Aku lemas sekaligus girang mendengar kabar ini. Jujur, lebih banyak lemasnya daripada girangnya. Karena untuk pertama kalinya, akhirnya aku harus naik pesawat. Kali ini nggak bisa menghindar supaya nggak dicoret jadi adik ipar, jadi kuanggap saja perjalanan ke Batam ini sebagai latihan naik pesawat sebelum nanti umroh dan naik haji.

Nggak mudah lho gaes bagi orang yang punya ketakutan naik pesawat untuk naik pesawat pertama kalinya. Seminggu sebelum keberangkatan ke Batam, jantungku deg - degan, tidur tak nyenyak, makan tak enak, selalu gelisah. Macam orang patah hati yang nggak move on - move on karena selalu mikirin si dia gitu deh.

Saking stress karena mikirin bakal naik pesawat, aku sampai masuk angin gaes.

Oh my god.

Untungnya pengalaman pertama naik pesawat itu kulalui bersama suami dan si kecil Kirana yang masih berusia setahun. Jadi, aku nggak sendirian. Ada si kecil Kirana yang bisa kupeluk. Dan ada lengan gendut yang bisa terus kupegang saat pesawat berlari kencang untuk lepas landas dengan suara gemrebeknya, yang segemrebek hatiku saat itu.

Untungnya lagi cuaca saat itu sangat cerah, sehingga setelah lepas landas perjalanan kami di udara sangat mulus dan lancar. Saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat awan berarak dan langit biru di angkasa dari balik jendela pesawat.

Ternyata indah bangeet ya gaes.

Perjalanan pulang dari Batam ke Jakarta juga melewati adegan yang kurang lebih sama. Sedikit mulas dan tak karuan saat lepas landas, lalu mulai tenang ketika melaju di udara.

Meskipun pengalaman pertama naik pesawat berjalan dengan lancar, tetap saja aku tak nyaman dengan perjalanan udara. Rasa naik takut pesawat itu masih ada. Aku masih tetap ogah naik pesawat kalau tak terpaksa. Sehingga ketika suami mengajak jalan - jalan ke Malang naik pesawat, tentu saja tetap kutawar untuk naik kereta saja.

Tapi sebulan yang lalu, ada hal yang membuatku harus naik pesawat. Lagi - lagi perjalanan ke Batam. Tapi perjalanan ini bukan untuk liburan atau bersenang - senang, melainkan dalam rangka revisi operasi patah tulang paha suami.

Untuk perjalanan kali ini, aku nggak boleh cemen. Karena ada 2 balita heboh yang harus dimomong selama perjalanan. Sementara suami harus duduk terpisah di kelas bisnis karena keadaan kakinya yang tidak memungkinkan untuk duduk di kelas ekonomi.

Alhamdulillah perjalanan udara menuju Batam saat itu lancar jaya, sehingga aku bisa bernafas lega ketika tiba di Bandara Hang Nadim Batam.


Bersama Umik pasca operasi

Bersama dokter cantik mbak Wulan


Welcome to Batam

Makan seafood di kelong

Setelah 3 minggu di Batam, kami akhirnya pulang ke Jakarta. Kali ini bersama Umik (ibu mertua), serta mbak Wulan dan keponakan kecil si Ellan yang ikut mengantar kami ke Jakarta.

Yang membuatku tak tenang adalah, sejak pagi cuaca di Batam tidak bersahabat karena mendung dan gerimis. Sesekali hujan turun dengan agak deras, kemudian mereda lagi. Namun awan mendung tetap setia menggantung di langit hingga keberangkatan kami ke bandara.

Cuaca buruk ini rupanya tidak hanya menghiasi langit Batam saja. Dan yang selama ini membuatku deg - degan untuk naik pesawat akhirnya terjadi.

Wajah ceria pasukan hore sebelum kena turbulensi

Bermula dari sebuah announcement dari ruang pilot yang meminta para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman karena cuaca buruk. Disusul pramugari yang berjalan tergesa - gesa mengecek penumpang satu persatu. Dan ketika melihatku sedang memangku Aruna yang tertidur, ia memasangkan sabuk pengaman ekstra pada Aruna yang dikaitkan ke sabuk pengamanku, lalu berjalan pergi.

Tak berapa lama, aku merasa seperti berada dalam lift yang berjalan naik.. lalu turun..lalu naik lagi..lalu turun lagi.

Kepalaku jadi pusing, perut juga mendadak mual. Belum sempat mengahayati rasa gak enak body yang tiba - tiba datang, kali ini aku merasa seperti sedang naik bis yang melaju di jalanan terjal bergelombang nan geronjalan.

"Ya ampun, ini kenapa kok begini.", batinku.

Kucoba menyapu pandangan ke sekeliling, mencoba mencari jawab atas apa yang sedang terjadi saat itu.

Di arah jam 1 dari tempat dudukku, seorang mas - mas sedang asyik menonton film action. Sepertinya ia sama sekali tak terpengaruh dengan manuver - manuver pesawat yang seolah mengajak kami beroller coster.

Di arah jam 3, si kecil Ellan sudah menutupkan tudung jaketnya sambil memeluk Umik. Aku tak kuasa bertanya karena Umik juga sedang memejamkan mata sambil berkomat - kamit.

Sedangkan di arah jam 5, kulihat seorang penumpang wanita dengan wajah pucat pasi menyandarkan kepalanya di bangku depannya. Ia balas menatapku dengan tajam. Hanya menatap saja tanpa berkata - kata, hingga aku merasa seram sendiri melihatnya.

Dan di arah jam 9 dekat jendela pesawat, si kecil Kirana malah kegirangan, melepas sabuk pengamannya, merentang - rentangkan kedua tangannya bak burung, karena merasa dirinya seperti sedang terbang.

10 menit..15 menit.. masih di situasi yang sama.

Ya Allah.

Kepalaku rasanya sedikit panas dan setengah melayang. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku memeluk Aruna lebih erat. Dan otakku mulai berpikir yang tidak - tidak.

Sepertinya aku tak punya pilihan lain selain merapal aneka dzikir seperti yang sedang dilakukan Umik.

Aku takut, Ya Allah. Tak pernah setakut ini.

Jika ternyata umurku Engkau cukupkan hari ini, apa bekalku sudah cukup?

***
Alhamdulillah, yang kutakutkan tidak terjadi. Kami mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta diiringi gerimis mengundang. Hanya si kecil Ellan saja yang muntah - muntah karena mual.

Liburan tipis2 Di Jakarta menemani Ellan naik MRT


Namun peristiwa kali ini menyadarkanku akan satu hal.

Aku tidak akan pernah tahu kapan masaku habis di dunia. Dan ketika masa itu tiba, sudah siapkah aku?

Minal Aidzin wal Faidzin.
Mohon maaf lahir dan bathin.
Semoga Ramadhan kali ini, membawa banyak kebaikan dan keberkahan bagi iman dan ibadah kita.


Aamiin.



Comments

  1. Ya Allah Mbak, aku langsung mewek di akhir cerita. Awalnya mah diledek ledek gitu ya, kenapa takut naik pesawat. Sampai akhirnya kesiapanlah yang membuat semua yang akan terjadi itu takdirnya Allah. Saya baru tiga kali naik pesawat Mbak, semoga kita semua diberikan perlindungan dan keselamatan oleh Allah aamiin

    ReplyDelete
  2. Kontemplasi yang luar biasa, Mba.
    Dzikrul maut memang patut kita lakukan dalam situasi dan kondisi apapun.
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah dari sekian kali naik pesawat mana pun gak pernah terjadi aneh-aneh, delay pun tidak pernah.Tapi, saya punya pengalaman sakit telinga parah waktu awal-awal naik pesawat.

    ReplyDelete
  4. Parah juga ketakutannya ya Mbak..Kalau aku takut ketinggian yang langsung di depan mata, misal berdiri di tempat yang tinggi terus lihat ke bawah...Tapi karena beberapa hal yang kucoba jadi memudar rasa takutnya
    Kalau pesawat sayang banget, secara sekarang itu moda tercepat yang bisa dipakai untuk perjalanan. Gimana kalau dicoba dnegan mengalihkan ketakutannya. Dengan dengerin musik, baca buku, nonton film, ngemil atau apalh gitu
    Semoga segera sembuh ya

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah mendarat dengan selamat ya mbak. Semoga lain kali pengalamannya menyenangkan... Ikut deg degan bacanya

    ReplyDelete
  6. Pengalaman yang seru mbak diar, yang perlu dikalahkan dan diajak damai adalah perasaan takut dalam diri kita sendiri ya? Selamat ramadhan, maaf lahir batin

    ReplyDelete
  7. Mbak Diar nggak sendirian alergi naik pesawat. banyak orang yg punya ketakutan semacam ini. kalau lg naik pesawat saya suka mengedarkan pandang ke kursi2 penumpang dan pasti mendapati satu dua wajah yng tegang skali. saya menduga mungkin mereka adl penumpang yang punya ketakutan ekstra buat naik pswat. ya nggak bisa nolong kecuali turut mendoakan mereka agar tenang sepanjang perjalanan dan penerbangan itu sendiri selamat sampai tujuan.

    ReplyDelete
  8. Hehehe, lucu ya. Ternyata gak semenakutkan yang dikira. Malah tebang dengan pesawat itu menyenangkan. Eh, dulu kuliah di Bandung juga ya? Kok gak pernah ketemu. Heheheh... emangnya Bandung sekecil toilet. :D

    ReplyDelete
  9. Turbulensi saat naik pesawat pasti ada. Kalau dari Palembang-Jakarta atau sebaliknya, kadang berasa banget goncangannya. Jadinya banyak dzikir, banyak doa sepanjang perjalanan.

    Mohon maaf lahir batin ya mba, selamat berpuasa

    ReplyDelete
  10. Fobia ketinggian memang lumayan banyak dialami orang ya mba.. tapi apapun hal yang membuat kita buruk pasti ada pelajaran baik didalamnya yang bisa diambil.. Masya Allah 😍

    ReplyDelete
  11. Selamat sudah berani naik pesawat. Aku ke Batam udah bolak balik. Tapi pernah juga naik kapal karena kehabisan tiket Lebaran. Naik kapal bisa jadi pilihan kalau masih takut terbang. Lebih seru sih tapi aku ogah kalau harus ngulang lagi naik kapal

    ReplyDelete
  12. Saya juga hanya 2 kali naik pesawat, yang pertama waktu berangkat rasanya takut sekali, namun yang ke dua kalinya enjoy banget heheheh

    ReplyDelete
  13. Waaah mbak yg alergi naik pesawat malah bisa berkali2 mencobanya. Saya kepengen banget naik pesawat tapi gak berangkat2

    ReplyDelete
  14. Sebenarnya apapun moda transportasi yang kita pilih, kita sudah harus pasrah pada Allah. Namun hikmah dari kisah ini ada benarnya juga. Ketika kita teringat terus akan bekal yang tak kunjung siap, bisa memacu kita untuk terus melakukan amalan baik sepanjang hidup kita. Semoga kita semua selalu diberkati dengan keselamatan di perjalanan hidup kita ini.

    ReplyDelete
  15. Walaupun aku gak takut naik pesawat tapi kalau kejadian tubulensi juga deg2an mbak, ingatnya hidup sampai situ.
    Memang ketakutan akan satu hal gak bisa dipaksakan juga untuk melawannya ya mbak, tapi Allhamdulillah demi mendampingi suami jadi lebih semangat ya.
    Jadi selanjutnya masih mau naik pesawat lagi kah mbak?

    ReplyDelete
  16. Aku juga takut mba, jadi pernah memilih naik bus dan kereta ke Palembang daripada naik pesawat dari Jakarta, teler hihi. Alhamdulillah, sekarang udah terbiasa walau tetap ada rasa takut sih..

    ReplyDelete
  17. Wah, baca ini jd pengen curcol pengalaman naik pesawat pertamaku.. Memalukaaan. Muntah di pesawat.. Haha..

    ReplyDelete
  18. Hihi lebih ke phobia ya Mbk. Alergi mah ntar gatal-gatal hehe... Iya sih Mbk selalu ada awal juga mengalahkan rasa takut ya. Selamat ya Mbk sudah menaklukkan rada takut naik pesawat.

    ReplyDelete
  19. Bacanya deg2an Mbak. Aku enggak takut naik pesawat tapi naik pesawat Jakarta Madinah 10 jam itu yang deg2an. Kan lama banget hiks ga kebayang kan. Alhamdulillah lancar meski sesekali turbulensi

    ReplyDelete
  20. Setelah kena turbulensi in syaa Allah jadi lebih berani naik pesawat. Kalau ini pengalaman pribadi saya, sih. Semoga setelah ini perjalanan naik pesawat lancar semua. Aamiin.

    ReplyDelete
  21. Kadang apa yang kita takutkan pas dijalani gak semenakutkan itu ya mbak...
    Budheku itu ada yg takut banget naik pesawat, alhamdulillah jg akhirnya bisa mengatasi takutnya, katanya kalau terbang skrng baca AL Quran :D

    ReplyDelete
  22. Gak kebayang sih mak di dalam pesawat selama 10 jam. Sepertinya akupun butuh pengalihan atau obat tidur biar bisa tidur aja sampai pesawat landing

    ReplyDelete
  23. Aku juga takut ketinggian mba kadang suka mikir ratusan Kali utk Naik pesawat, tapi klo gk Ada pilihan bismillah aja deh

    ReplyDelete
  24. Iya...
    Kalau phobia ketinggian memang harus dibantu agar gak panik saat pesawat mulai lepas landas.
    Aku pernah lihat film mengenai orang yang phobia ketinggian, panik, heboh dan keringat dingin bercucuran.

    Alhamdulillah,
    Setelah mencoba sekali, lancar...in syaa Allah ke depannya makin berkurang ketakutannya.

    ReplyDelete
  25. Kadang aku ngerasa tidur di peasawat itu lebih baik daripada terjaga tapi merasakan turbulance ngga karuan macam ini, hehehe.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Insto Dry Eyes, Solusi Seketika Untuk Gejala Mata Kering Saat Mengemudi Mobil

Gejala mata kering bisa datang tiba – tiba dan mengganggu aktivitas kita. Entah itu saat sedang asyik membaca, marathon nonton drama Korea, atau mengemudi di jalan raya. Jangan dibiarkan saja, Untuk gejala mata kering, Insto Dry Eyes solusinya. Setiap kali memperhatikan suami tatkala ia sedang mengemudi, saya selalu berpikir bahwa mengemudi mobil itu hal yang mudah. Hanya menggoyang setir, mengganti gigi, menginjak pedal gas dan pedal rem saja kan? Apa sih sulitnya? Tapi secara praktik, mengemudi mobil itu ternyata tak semudah yang dibayangkan. Karena ada entitas tak berwujud lain yang mesti diperhitungkan. Seperti feeling , respon berpikir, fokus dan konsentrasi.  Mengemudi mobil juga butuh mental yang berani, serta koordinasi yang apik antara mata, tangan dan kaki. Apalagi untuk mengemudi di jalan raya. Lengah sedikit tak hanya dapat membahayakan diri sendiri saja, namun juga bisa mencelakakan pengguna jalan lainnya. Hal yang paling krusial saat mengemudi di

Jalan - jalan ke Cibinong City Mall untuk Akhir Pekan yang Menyenangkan

Saat weekdays , pagi - pagi sekali ayah sudah berangkat bekerja. Kirana menghabiskan setengah harinya di sekolah. Sementara saya, sepanjang hari berjibaku dengan berbagai urusan rumah tangga sambil mengasuh Aruna. Rutinitas seperti ini, otomatis membuat family time yang terbangun pada hari kerja sangat terbatas waktunya. Itu sebabnya, kita semua selalu mendamba weekend, bukan? Weekend atau akhir pekan, bagi saya adalah saatnya family time . Dimana semua anggota keluarga bisa berkumpul lengkap dan menghabiskan waktu bersama. Salah satunya dengan pergi jalan - jalan. Dengan segala kepenatan yang begitu terasa saat hari kerja, tentunya semua ingin jalan - jalan saat akhir pekan. Apalagi saya, ibu rumah tangga yang sehari - harinya hanya di rumah saja. Masa iya akhir pekannya nggak kemana - mana? Tentunya sayalah yang paling semangat mengajak orang rumah untuk jalan - jalan. Jalan - jalan keluarga kami itu nggak neko - neko kok. Yang penting membuat

Maksimalkan Cantik Alamimu dengan Perawatan Tubuh Praktis ala Velvy Beauty

Punya suami yang tak romantis itu seringkali membuat diri ini gigit jari. Bayangkan saja, selama 7 bulan pacaran hingga 7 tahun menikah, tak pernah sekalipun ia memberi bunga atau puisi yang sering diharap - harap sang istri.                                         Padahal istrinya ini ingin sekali merasakan berbunga - bunganya hati ketika diberi sekuntum mawar. Setidaknya, setahun sekali lah, pada saat ulang tahun atau wedding anniversary. Meski sudah diberi kode keras, namun tak pernah sekalipun ia mengabulkannya. Sebagai ganti, ia selalu membawa cake ulang tahun untuk dikunyah bersama. Oh my god . Suami saya ini selalu punya pembelaan sendiri kenapa tak pernah mau memberikan bunga untuk istrinya. Katanya, kalau bunga adalah lambang cinta, maka bunga itu pasti layu dan berguguran. Sementara cintanya pada sang istri akan selalu abadi dan berkembang. sumber : tenor.com Kalau sudah bilang begitu biasanya saya langsung balik kanan, pura - pura nggak dengar sambi